Setiap orang, jika Sang Maha Pencipta memberinya umur panjang, pasti akan mengalami masa tua, sebuah babak kehidupan yang konon sering ditandai dengan penurunan produktifitas, kreatifitas, dan mentalitas.
Banyak di antara kita yang kemudian khawatir akan datangnya masa itu. Berbagai cara pun kita tempuh demi menghindari atau paling tidak memperlambatnya, mulai dari meminum jamu tradisional, berpenampilan ala ABG, hingga operasi plastik. Padahal kalau kita merujuk pada ajaran agama, masa tua adalah bagian dari sunnatullah, hukum Tuhan yang Ia gariskan untuk segenap makhluk yang diciptakan-Nya. Seperti halnya kematian, tidak ada seorang pun dari kita yang mampu menghindarinya.
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi oleh buku Jangan Mau (dikatakan) Tua karya Hans Tandra. Judul tulisan ini pun mirip dengan judul buku Tandra. Hanya kalau Tandra mengatakan jangan mau dikatakan tua, dalam tulisan ini saya justru mengatakan sebaliknya, jangan takut disebut tua!
Sebenarnya saya tidak bermaksud berbeda pendapat dengan Tandra. Dalam karyanya tersebut Tandra berusaha memotivasi kita, terlepas dari berapa pun usia kita sekarang, untuk selalu menjalani gaya hidup sehat, optimis, dan ceria sehingga selain umur yang akan jauh lebih panjang, di usia senja pun kita bisa tetap produktif, jauh dari depresi. Oleh karena itu, dia mengimbau kita untuk jangan mau dikatakan tua.
Nah, melalui tulisan ini saya bermaksud mengatakan bahwa, paling tidak, ada dua segi positif ketika kita disebut tua, sehingga tidak perlu ditakuti!
Pertama, tua bisa berarti kematangan. Ketika kita dibilang tua oleh orang lain, mereka sebenarnya menganggap kita sebagai sosok berpengalaman, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Anggaplah seperti itu!
Kedua, dalam sudut pandang agama, sebutan tua kepada kita dapat berarti "peringatan". Peringatan bahwa jarak antara kita dan saat penghisaban semakin dekat. Betapa sering kita mengabaikan hal ini dan baru tersadar ketika orang mengatakan bahwa kita tua!
So, kenapa harus takut disebut tua? Biar tua, tapi bukan sembarang tua. Tua yang bijak, berwawasan, dan calon surga. hahaha...
Banyak di antara kita yang kemudian khawatir akan datangnya masa itu. Berbagai cara pun kita tempuh demi menghindari atau paling tidak memperlambatnya, mulai dari meminum jamu tradisional, berpenampilan ala ABG, hingga operasi plastik. Padahal kalau kita merujuk pada ajaran agama, masa tua adalah bagian dari sunnatullah, hukum Tuhan yang Ia gariskan untuk segenap makhluk yang diciptakan-Nya. Seperti halnya kematian, tidak ada seorang pun dari kita yang mampu menghindarinya.
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi oleh buku Jangan Mau (dikatakan) Tua karya Hans Tandra. Judul tulisan ini pun mirip dengan judul buku Tandra. Hanya kalau Tandra mengatakan jangan mau dikatakan tua, dalam tulisan ini saya justru mengatakan sebaliknya, jangan takut disebut tua!
Sebenarnya saya tidak bermaksud berbeda pendapat dengan Tandra. Dalam karyanya tersebut Tandra berusaha memotivasi kita, terlepas dari berapa pun usia kita sekarang, untuk selalu menjalani gaya hidup sehat, optimis, dan ceria sehingga selain umur yang akan jauh lebih panjang, di usia senja pun kita bisa tetap produktif, jauh dari depresi. Oleh karena itu, dia mengimbau kita untuk jangan mau dikatakan tua.
Nah, melalui tulisan ini saya bermaksud mengatakan bahwa, paling tidak, ada dua segi positif ketika kita disebut tua, sehingga tidak perlu ditakuti!
Pertama, tua bisa berarti kematangan. Ketika kita dibilang tua oleh orang lain, mereka sebenarnya menganggap kita sebagai sosok berpengalaman, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Anggaplah seperti itu!
Kedua, dalam sudut pandang agama, sebutan tua kepada kita dapat berarti "peringatan". Peringatan bahwa jarak antara kita dan saat penghisaban semakin dekat. Betapa sering kita mengabaikan hal ini dan baru tersadar ketika orang mengatakan bahwa kita tua!
So, kenapa harus takut disebut tua? Biar tua, tapi bukan sembarang tua. Tua yang bijak, berwawasan, dan calon surga. hahaha...