Masa iya sih ada sekolah tanpa pendidikan?
Bukankah untuk menjadi manusia berpendidikan (baca: memiliki pendidikan) orang harus mengenyam bangku sekolah? Bukankah guru sebagai orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan di sekolah sering disebut pendidik? Bukankah pula murid-murid di sekolah sering disebut peserta didik?
Idealnya memang seperti itu! Sekolah sudah seharusnya menjadi tempat para pendidik mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan budi pekerti luhur kepada mereka yang disebut anak didik.
Tapi kenyataan sering berbicara lain. Sekolah malah menjadi bangunan mati, seperti raga tanpa jiwa.
Bangunan yang tidak jarang bertingkat dan jauh lebih megah daripada masjid atau rumah kepala desa ini berubah menjadi tempat berkamuflasenya orang-orang bergelar sarjana menjadi pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa. Malangnya, pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa yang seharusnya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menggali, mengelaborasi, dan mengarahkan potensi siswa malah lebih disibukkan dengan perburuan sertifikasi atau gelar PNS.
Saya kok jadi berpikir, masih pantaskah sebutan pahlawan tanpa tanda jasa dialamatkan kepada guru-guru semacam itu?
Kurang lebih 4 tahun lalu pemerintah membuat kebijakan sertifikasi untuk meningkatkan kesejahteraan serta profesionalisme guru. Tapi alih-alih sejahtera dan profesional, kebijakan ini sering direkayasa sedemikian rupa oleh pihak-pihak sekolah sehingga hanya dinikmati oleh mereka yang dianggap "dekat" dengan sekolah.
Laporan pun dimanipulasi demi tujuan sertifikasi yang ternyata tidak berdampak pada peningkatan kinerja. Sertifikasi yang tadinya hanya alat kemudian dijadikan tujuan yang berakibat pada sering terabaikannya proses kegiatan belajar mengajar di sekolah. Jika sudah begini, yang jadi korban tentu saja anak-anak didik. Pendidikan yang seharunya mereka peroleh di bangku sekolah, menjadi sekadar harapan semu diterpa angin kencang sertifikasi.
Saya tidak bermaksud menyalahkan guru! Bagaimanapun, sejarah membuktikan bahwa para guru telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap kemajuan (betapa pun kecilnya) pendidikan di tanah air kita. Lahirnya jenius-jenius di berbagai aspek kehidupan tidak lepas dari peran guru yang sering dianggap sebelah mata.
Tugas guru sebagai pengajar, pemberi ilmu, dan pengawal pendidikan tidak akan pernah bisa dinilai dengan uang, meskipun bukan berarti mereka tidak boleh hidup sejahtera. Kesejahteraan guru ini tentu saja tanggung jawab pemerintah, dan kebijakan sertifikasi ini boleh jadi positif.
Tapi kebijakan hanya akan menjadi angan-angan apabila tidak disertai dengan pengawasan, pemerataan, dan evaluasi. Kita mengharapkan dana yang digelontorkan untuk sertifikasi ini tidak mubazir dengan menyulap sekolah-sekolah menjadi tempat berkamuflase semata, tetapi secara nyata kebijakan tersebut mampu meningkatkan dunia pendidikan di negeri tercinta ini. Amin.
Bukankah untuk menjadi manusia berpendidikan (baca: memiliki pendidikan) orang harus mengenyam bangku sekolah? Bukankah guru sebagai orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan di sekolah sering disebut pendidik? Bukankah pula murid-murid di sekolah sering disebut peserta didik?
Idealnya memang seperti itu! Sekolah sudah seharusnya menjadi tempat para pendidik mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan budi pekerti luhur kepada mereka yang disebut anak didik.
Tapi kenyataan sering berbicara lain. Sekolah malah menjadi bangunan mati, seperti raga tanpa jiwa.
Bangunan yang tidak jarang bertingkat dan jauh lebih megah daripada masjid atau rumah kepala desa ini berubah menjadi tempat berkamuflasenya orang-orang bergelar sarjana menjadi pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa. Malangnya, pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa yang seharusnya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menggali, mengelaborasi, dan mengarahkan potensi siswa malah lebih disibukkan dengan perburuan sertifikasi atau gelar PNS.
Saya kok jadi berpikir, masih pantaskah sebutan pahlawan tanpa tanda jasa dialamatkan kepada guru-guru semacam itu?
Kurang lebih 4 tahun lalu pemerintah membuat kebijakan sertifikasi untuk meningkatkan kesejahteraan serta profesionalisme guru. Tapi alih-alih sejahtera dan profesional, kebijakan ini sering direkayasa sedemikian rupa oleh pihak-pihak sekolah sehingga hanya dinikmati oleh mereka yang dianggap "dekat" dengan sekolah.
Laporan pun dimanipulasi demi tujuan sertifikasi yang ternyata tidak berdampak pada peningkatan kinerja. Sertifikasi yang tadinya hanya alat kemudian dijadikan tujuan yang berakibat pada sering terabaikannya proses kegiatan belajar mengajar di sekolah. Jika sudah begini, yang jadi korban tentu saja anak-anak didik. Pendidikan yang seharunya mereka peroleh di bangku sekolah, menjadi sekadar harapan semu diterpa angin kencang sertifikasi.
Saya tidak bermaksud menyalahkan guru! Bagaimanapun, sejarah membuktikan bahwa para guru telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap kemajuan (betapa pun kecilnya) pendidikan di tanah air kita. Lahirnya jenius-jenius di berbagai aspek kehidupan tidak lepas dari peran guru yang sering dianggap sebelah mata.
Tugas guru sebagai pengajar, pemberi ilmu, dan pengawal pendidikan tidak akan pernah bisa dinilai dengan uang, meskipun bukan berarti mereka tidak boleh hidup sejahtera. Kesejahteraan guru ini tentu saja tanggung jawab pemerintah, dan kebijakan sertifikasi ini boleh jadi positif.
Tapi kebijakan hanya akan menjadi angan-angan apabila tidak disertai dengan pengawasan, pemerataan, dan evaluasi. Kita mengharapkan dana yang digelontorkan untuk sertifikasi ini tidak mubazir dengan menyulap sekolah-sekolah menjadi tempat berkamuflase semata, tetapi secara nyata kebijakan tersebut mampu meningkatkan dunia pendidikan di negeri tercinta ini. Amin.