Sering kita mendengar saran yang mengatakan bahwa banyak menulis adalah kunci menjadi penulis hebat. Kita pun sering kemudian mengiyakan saran tersebut. Dengan semangat menggebu, kita menulis tanpa kenal lelah di setiap waktu dan kesempatan.
Benarkah demikian?
Jika pertanyaan itu kita ajukan pada James Chartrand, pendiri sekaligus penulis di Menwithpens.ca, kita akan mendapatkan jawaban kurang "menyenangkan" tapi menginspirasi.
Dalam salah satu tulisannya yang terdengar provokatif dan agitatif, Why You Shouldn’t Write Often (Kenapa Anda tidak perlu Menulis terlalu Sering), James mengatakan bahwa banyak menulis tidak akan membawa kita ke mana-mana, kecuali memproduksi volume.
Saya tertegun membaca tulisan James di atas. Saya menengok kembali keputusan untuk ngeblog beberapa bulan lalu. Selain karena tujuan ekonomi (cari recehan dari PPC dan lain sebagainya), dalam lubuk hati tersimpan keinginan menjadi penulis, bukan semata-mata blogger. Saya bahkan bermimpi dapat menulis buku.
Pikir saya, jika sudah punya blog, barangkali saya akan merasa tertuntut untuk menulis.
Tujuan pertama sampai saat ini belum kesampaian. Malangnya, yang kedua pun bernasib sama. Saya menulis semata-mata untuk menulis, sebuah kegiatan yang menurut James tidak akan membuat kita berkembang dan jauh untuk disebut belajar menulis.
Belajar menulis sebenarnya memiliki horizon yang jauh lebih luas daripada sekadar memperbanyak tulisan. Belajar menulis, di antaranya, mencakup bagaimana membuka dan menutup tulisan, membuat judul menarik, menjalin kesatupaduan gagasan, menjaga perhatian pembaca, menyajikan argumen-argumen secara sistematis dan logis, menghindari penggunaan kata dan kalimat yang tidak perlu, serta memperhatikan diksi dan pungtuasi.
Media yang akan digunakan untuk tulisan pun perlu diperhatikan seperti surat kabar, majalah, dan buku. Karena perbedaan media menuntut gaya dan cara pengemasan tulisan yang berbeda pula.
Pada tahap selanjutnya, kita perlu pula belajar bagaimana memasarkan karangan kita jika kita berniat hidup dari tulisan. Satu hal yang membutuhkan kerja keras dan waktu yang tidak sedikit.
Benarkah demikian?
Jika pertanyaan itu kita ajukan pada James Chartrand, pendiri sekaligus penulis di Menwithpens.ca, kita akan mendapatkan jawaban kurang "menyenangkan" tapi menginspirasi.
Dalam salah satu tulisannya yang terdengar provokatif dan agitatif, Why You Shouldn’t Write Often (Kenapa Anda tidak perlu Menulis terlalu Sering), James mengatakan bahwa banyak menulis tidak akan membawa kita ke mana-mana, kecuali memproduksi volume.
If all you’re doing is writing, you’re only producing volume. You’re repeating behaviour - but you’re not improving. The act of repeating behaviour makes you more experienced and faster and eventually that behaviour becomes second nature.
But it doesn’t make you better at writing.
Saya tertegun membaca tulisan James di atas. Saya menengok kembali keputusan untuk ngeblog beberapa bulan lalu. Selain karena tujuan ekonomi (cari recehan dari PPC dan lain sebagainya), dalam lubuk hati tersimpan keinginan menjadi penulis, bukan semata-mata blogger. Saya bahkan bermimpi dapat menulis buku.
Pikir saya, jika sudah punya blog, barangkali saya akan merasa tertuntut untuk menulis.
Tujuan pertama sampai saat ini belum kesampaian. Malangnya, yang kedua pun bernasib sama. Saya menulis semata-mata untuk menulis, sebuah kegiatan yang menurut James tidak akan membuat kita berkembang dan jauh untuk disebut belajar menulis.
If you’re just writing for the sake of writing, you’re not going to improve or learn a thing.
Belajar menulis sebenarnya memiliki horizon yang jauh lebih luas daripada sekadar memperbanyak tulisan. Belajar menulis, di antaranya, mencakup bagaimana membuka dan menutup tulisan, membuat judul menarik, menjalin kesatupaduan gagasan, menjaga perhatian pembaca, menyajikan argumen-argumen secara sistematis dan logis, menghindari penggunaan kata dan kalimat yang tidak perlu, serta memperhatikan diksi dan pungtuasi.
Media yang akan digunakan untuk tulisan pun perlu diperhatikan seperti surat kabar, majalah, dan buku. Karena perbedaan media menuntut gaya dan cara pengemasan tulisan yang berbeda pula.
Pada tahap selanjutnya, kita perlu pula belajar bagaimana memasarkan karangan kita jika kita berniat hidup dari tulisan. Satu hal yang membutuhkan kerja keras dan waktu yang tidak sedikit.